Dan segi represif, kesukaran memberantas korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi di sidang pengadilan. Hukum pembuktian konvensional dalam KUHAP yang berpijak pada landasan asas presumption of innocence memang tidak menunjang mempermudah pembuktian perkara korupsi di sidang pengadilan. Karena itu, upaya yang luar biasa dibidang pembuktian perlu dilakukan penyimpangan dari hukum pembuktian umum dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan baru sebagai perkecualian kedalam UU Pemberantasan Korupsi. Salah satu bentuk hukum penyimpangan pembuktian itu ialah memberlakukan sistem pembebanan pembuktian ini ialah memberlakukan sistem pembebanan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) kedalam UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001. Sistem pembebanan pembuktian terbalik bertitik tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa korupsi, diangggap dia sudah bersalah melakukan korupsi. Oleh karena itu, di sidang pengadilan terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidaklah bersalah melakukan korupsi sebagaimana yang didakwakan, agar dirinya dapat terbebaskan dari pidana karena melakukan korupsi. Dalam sistem terbalik yang demikian “hak” terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah seperti pada sistem biasa menjadi tidak berlaku.Para pembaca memperoleh pengetahuan yang komprehensif tentang usaha memberantas korupsi dengan pembuktian terbalik yang hanya mungkin dapat dijalankan secara baik apabila para praktisi dan pemerhati hukum memahami tentang lika-liku tersebut di atas seperti diuraikan dalam buku ini.
Pemerintahan baru Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi pada tanggal 9 Desember 2004. Pencanangan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Internasional yang Ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada saat itu, Presiden Juga telah Menandatangani Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tenang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Presiden Susilo bambang Yudhoyono menegaskan, korupsi harus diberantas dengan cara-cara luar biasa karena tindakan yang luar biasa karena tindakan yang luar biasa tersebut telah terjadi hampir di semua bidang, "Korupsi yang merupakan tindakan kejahatan harus di berantas dengan cara-cara luar biasa, :katanya di Istina Negara, Jakarta (Suatu Karya). Inilah Gerakan 100 hari dari pemerintah yang baru Republik Indonesia, salah satunya adalah wujud nyata dalam pemberantasan Korupsi.
Buku yang berada di hadapan pembaca ini merupakan hasil studi seorang pakar hukum pidana yang membahasa tentang perbandingan pemberantasan korupsi di berbagai negara seperti Australia, Hongkong, Malasyia, Singapura, Thailand, dan bagaimana pula prospek pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi diberbagai negara tersebut didukung oleh lembaga atau badan pemberantasan korupsi yang independen Independent Commision Againist Corruption (ICAC), Australia dan Hongkong; Badan Pencegah Rasuah (BPR), Malasyia; Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura; dan Counter Corruption Commission (CCC), Thailand. yang tidak kalah pentingnya adalah di samping badan-badan pemberantasan korupsi ini, negara-negara tersebut mempunyai peraturan pemberantasan korupsi yang mumpuni yang dapat dijadikan rujukan bagi peraturan pmberantasan korupsi di Indonesia.
Tidak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, di samping itu juga merupakan perilaku kejahatan yang sulit ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi ini terlihat dari banyaknya putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa kasus korupsi atau ringannya sanksi yang harus diterima oleh terdakwa yang tidak sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan perundangan-undangan dari rakyat sebagai warga negara dapat berkurang.
Oleh karena itu, peran serta masyarakat dan usaha yang serius dari pemerintah melalui political will-nya sangat diperlukan dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Naskah ini membahas satu persatu ketentuan yang diatur di dalam KUHAP, baik secara yuridis, yurisprudensi, maupun menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana.
Buku yang berkualitas ini memaparkan identifikasi tindak pidana korupsi; kajian yuridis normati Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001versi undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Komisi pemberantasan Korupsi meliputi kajian yuridis normati UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, kajian yuridis normative PP No. 63 Tahun 2005 tentang sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, kajian yuridis normatif Peraturan KPK No. 05. P.KPK Tahun 2002 tentang Kode Etik Pegawai, badan-badan pemberantasan korupsi sebelum KPK; system pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi; dan Komisis Pemberantasan Korupsi di berbagai Negara.
Buku ini membahas: kejahatan jabatan, kejahatan menurut KUHP yang membuat pelakunya dapat dipidana dalam tindak pidana korupsi, ketentuan pidana dalam KUHP yang diatur lebih khusus dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa kasus besar berakhir di tingkat penyidikan karena kerugian keuangan negara tidak dapat dibuktikan. Kalau sidang pengadilan berhasil membuktikan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi, metode penghitungan kerugiannya berbeda untuk kasus serupa. Buku ini menyajikan penghitungan kerugian keuangan negara secara sistematis. Menggunakan pendekatan akuntansi forensik dan audit investigatif yang memanfaatkan konsep dan doktrin hukum, ekonomi, dan akuntansi, penghitungan ini dimulai dengan memetakan sumber-sumber kerugian keuangan negara. Penulis memperkenalkan R.E.A.L. Tree, diagram yang merupakan peta kerugian keuangan negara dengan menggunakan unsur-unsur laporan keuangan, yaitu R (Receipt atau Revenue) dan E (Expense) dalam laporan realisasi APBN atau laporan arus kas serta A (Asset) dan L (Liability) dalam neraca pemerintah (pusat dan daerah) atau BUMN. R.E.A.L. Tree tidak mengabaikan sumber-sumber kerugian keuangan negara di luar laporan keuangan utama, seperti kewajiban bersyarat dan off-balance sheet lainnya. Setiap sumber kerugian keuangan negara dalam R.E.A.L. Tree dianalisis dan dipadankan dengan konsep kerugian ekonomi yang tepat. Hasilnya adalah pola penghitungan kerugian keuangan negara. Selain membahas penghitungan kerugian keuangan negara, buku ini juga meninjau praktik penggunaan Ahli (menurut KUHAP dan Undang-Undang tentang Badan Peme-riksa Keuangan), argumen mengenai independen atau tidaknya seorang Ahli, dan Keterangan Ahli di persidangan Tipikor. Buku ini diakhiri dengan tiga anneks. Anneks pertama memberi gambaran mengenai kerugian negara dengan pendekatan APBN maupun dampak ekonomi secara makro; anneks ini merupakan ringkasan dari karya pemenang hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi (Joseph Stiglitz) dan lulusan Harvard Business School (Linda J. Bilmes), The Three Trillion Dollar War. Anneks kedua merupakan ringkasan dari buku William G. Mulligan mengenai Expert Witnesses: Direct and Cross-Examination dan kriteria Daubert dan Frye untuk mengukur kepakaran seorang Ahli di pengadilan Amerika Serikat. Anneks ketiga menyajikan kasus penjualan VLCC Pertamina, baik dalam pengadilan persaingan usaha tidak sehat yang sudah mendapat putusan Mahkamah Agung maupun potongan berita ke arah penerbitan SP3 atau penghentian penyidikan kasus tindak pidana korupsinya oleh Kejaksaan Agung. Buku ini merupakan referensi untuk para akuntan forensik dan penegak hukum. Mengutip pandangan Prof. M. Trapman, mereka semua mempunyai fungsi yang sama walaupun posisi mereka berbeda.
Karya Saldi Isra ini merupakan kumpulan esai yang dihimpun dari Harian Kompas. Berisi tiga bab, buku ini membahas persoalan Uang dan Merintis Kekuasaan, Kekuasaan yang Kebablasan, serta Nalar Antikorupsi. Saldi Isra dikenal mampu menguraikan dengan bahasa sederhana dan gamblang, perihal persoalan korupsi yang begitu rumit, menggurita, dan melibatkan segala segi kekuasaan. Argumennya cerdas dengan didukung data yang kuat. Oleh karena itu, pembaca akan mudah memahami betapa hebatnya kampanye dan politik uang, sepak terjang hakim tindak pidana korupsi, mafia peradilan, hingga suara lembut dari Istana. Membaca buku ini, kita bisa merasakan segala kerisauan penulis yang adalah kerisauan seluruh warga bangsa juga, menyaksikan semakin merajalelanya korupsi di Tanah Air. Sistem politik di Era Upaya Reformasi itulah yang membuka sebesar-besarnya peluang bagi multiplikasikan laku korupsi hingga ke tingkat patologis, yang ibarat bumerang balik mengancam bukan hanya bangunan sistemik yang merupakan sumber dan pembiaknya, melainkan eksistensi Republik kita sendiri, di mana bangunan sistemik itu tegak.
Buku ini mencoba menganalisis secara mendalam pengaruh latar sosial, budaya, historis dan kekuasaan, ideologi yang melatarbelakanginya dan mengeksplorasi konstruksi teks pandangan Mochtar Lubis tentang negara dan korupsi, serta menampilkan politik identitas yang menjadi implikasi intelektual dan kritik sosial dari pandangan Mochtar Lubis tentang negara dan korupsi bagi kematangan demokrasi politik di Indonesia.
Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu pidana yang melanggar larangan-larangan tersebut. Buku ini membahas tentang asas-asas dan sekitar permasalahan hukum pidana.
Penemuan Hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh hakim (dalam tugasnya) –juga oleh orang-orang yang bekerja di bidang hukum, seperti dosen, jaksa, polisi, pengacara, dan orang-orang yang bekerja di biro hukum– dalam memecahkan masalah konflik atau masalah hukum. Namun, walaupun kegiatan penemuan hukum merupakan kegiatan sehari-hari hakim dan mereka yang bekerja di bidang hukum, ternyata buku atau tulisan tentang penemuan hukum, baik yang sifatnya ilmiah maupun yang praktis, terutama yang ditulis dalam bahasa Indonesia, masih sangat sedikit. Buku ini dapat menambah wawasan pembaca tentang penemuan hukum. Buku ini juga penting untuk dibaca terutama oleh mereka yang berkecimpung dalam pemecahan masalah-masalah hukum.
Buku ini menguraikan ketentuan pidana dalam KUHAP berbagai negara di dunia, yakni Belanda, Republik Rakyat Cina, Portugal, Denmark, Republik Korea, Jepang, Malaysia, Argentina, Greenland, Rancangan KUHP Belgia, dan beberapa catatan tentang peradilan Pidana Terpadu di Nenderland, Jerman, Scotland, Inggris, serta Belgia.
Tindak kriminalitas seakan tidak pernah berhenti terjadi. Hal tersebut membuat upaya penegakan hukum melalui institusi hukum seperti kepolisian dan kejaksaan perlu terus diperbaiki. Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat sendiri akan hukum juga memegang peranan yang tidak kalah penting dalam menciptakan ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarkat. Dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum nasional yang bersumber pada keadilan dan kebenaran, sudah sewajarnya apabila pengetahuan hukum tentang hukum pidana perlu ditingkatkan di kalangan anggota masyarakat. Dengan pengetahuan hukum pidana yang memadai, masyarakat tentunya dapat menilai apakah suatu proses penegakan hukum telah berhasil menciptakan ketentraman dalam hati nurani masyarakat.
Buku ini tidak hanya mengkaji masalah hukum pidana dari aspek teori, tetapi juga dari contoh-contoh kasus yang pernah terjadi dalam praktik, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Pembahasan teori-teori hukum pidana disertai contoh-contoh kasus, diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih mudah memahami materi hukum pidana secara utuh.
Ruang Lingkup hukum acara pidana di Indonesia meliputi mencari kebenaran, penyelidikan , penyidikan, dan pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Dengan terciptanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berarti untuk pertama kalinya Indonesia melakukan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap, meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung. Lebih dari pada itu bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening). Buku ini menyajikan seluk-beluk tentang hukum acara pidana di Indonesia dengan berbagai latar belakangnya yang didukung oleh berbagai sumber hukum yang diperlukan dengan data-data kepustakaan yang luas. Penulis mampu menjelaskan secara lebih detail berdasarkan pengalamannya sebagai jaksa dan dosen serta argumentasinya yang kuat.
Buku ini menampilkan senarai tulisan yang menggambarkan tantangan dan solusi dalam penegakan hukum serta kebijakan penanggulangan kejahatan pidana di Indonesia, dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Di antara topik utamanya:
Reformasi Hukum
Supremasi hukum
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan sistem peradilan pidana terpadu
Mafia peradilan
Kepolisian dan kebijakan kriminal
Perlindungan HAM dan korban
Keberhasilan menciptakan keadilan, kebenaran, kepastian, dan perlindungan hukum menjadi dambaan kita semua. Untuk itu, aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim dituntut akan kemampuan profesional dan integritas kepribadiannya dalam mengantisipasi dan menangani masalah hukum. Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku melanggar hukum ditanggulangi secara preventif dan represif. Mengajukan ke sidang pengadilan bagi pelaku tindak pidana dan selanjutnya penjatuhan pidana, menjadi tugas aparat penegak hukum.
Pidana dan Pemindanaan yang ditulis oleh seorang peneliti dari pusat penelitian dan pengembangan kejaksaaan agung ini, meberikan informasi banyak tentang pidana. buku ini membahas secara khusus dan mendetail tentang pidana, jenis-jenis pidana, tindakan dan mekanisme penjatuhan pidana serta pemindaan, sekaligus paparan tentang peran penegak hukum.
Penguasaan penulis buku ini akan materi hukum yang memang menjadi dunia yang digelutinya tidak perlu diragukan lagi kemampuannya. Hal itu terbukti, buah pikiran dan ide-idenya dalam bidang hukum dituangkan dalam buku Delik-delik Terhadap Penyelengaraan Peradilan (1989) bersama Dr. andi Hamzah, S.H.; Pemeriksaan dan Peradilan di Bidang Perpajakan (1991); Implementasi Kekuasaan Kehakiman epublik Indonesia (1992); Penelitian Hukum dalam Praktek (1996); dan Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia (1996).
Dalam karya tulis diterbitkan dalam perwu-judan buku ini, diuraikan deskripsi, analisis dan permasalahan serta pemecahannya dikaji dari perspektif normatif dan teoretis di satu sisi dengan dimensi praktik peradilan dari dimensi yang lain sehingga diharapkan relatif dapat dijadikan sebagai bahan kajian baik bagi masyarakat, mahasiswa, teoretisi dan praktisi hukum. Pada hakikatnya, Hukum Acara Pidana mempunyai dimensi penting untuk menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materiel. Buku ini berusaha untuk menyajikan dimensi normatif dan teoretis di satu pihak dengan dimensi praktik beserta permasalahannya di pihak lain, sehingga diharapkan menjadi relatif lengkap serta adanya keseimbangan antara “das sein” dan “das sollen”.
Untuk menjamin pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan perlindungan bagi para pemilih dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan dan praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilu. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang (malpractices), sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau legislator yang terpilih di parlemenn merupakan wakil-wakil rakyat. Guna melindungi kemurnian pemilihan umum bagi demokrasi, para pembuat curang dalam pemilu sebagai tindak pidana. UU Pemilu di samping mengatur bagaimana pemilu dilaksanakan juga melarang sejumlah perbuatan yang dapat menghancurkan hakikat free andf fair election serta mengancam pelakunya dengan hukuman. Ketentuan tentang tindak pidana pemilu telah dimuat baik dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Pemili, ataupun dalam undang-undang khusus tentang tidak pidana pemilu.
Tindak pidana pemilu, yaitu semua tindak pidana berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam UU Pemilu. Tindak pidana yang terjadi pada masa pemilu, tetapi tidak diatur dalam UU Pemilu tidak bisa digolongkan sebagai tindak pidana pemilu. Adapun subjek tindak pidana pemilu adalah manusia selaku pribadi
Penyelesaiaan tidak pidana pemilu menurut peraturan perundang-undangan yang ada dilakukan dengan sistem peradilan pidana yang dimulai dari instansi kepolisian yang bertugas melakukan penyelidikan, selanjutnya kejaksaan yang bertugas melakukan penuntutan perkara ke depan pengadilan, dan kemudian hakim yang bertugas memeriksa suatu perkara di pengadilan.
Buku yang berada dihadapan pembaca ini adalah hasil pemikiran seorang yang pakar di bidang hukum dan pemilihan umum di Indonesia. Keistimewaan buku ini, yakni membahas tindak pidana pemilu, baik secara teoritis maupun praktis yang didukung dengan data tindak pidana pemilu di seluruh Indonesia, kasus-kasus tindak pidana pemilu yang terjadi, serta penyelesaiannya.
Hasil karya Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, seorang pakar hukum pidana akan menjawab permasalahan yang Anda hadapi. Buku ini memuat hukum pidana yang disusun sesuai dengan istilah yang tetap bertumpu pada Bahasa Indonesia. Namun, istilah asingnya tetap dipertahankan sesuai dengan aslinya tanpa diartikan ke dalam Bahasa Indonesia
Studi Kasus tentang Penerapan danPerkembangannya dalam YurisprudensiDr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. Semenjak keluarnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Januari 1966, No. 42K/Kr/1965, telah berulang kali kaidah-kaidah tentang hilangnya sifat melawan-hukum materiel yang diciptakannya, dipergunakan oleh pengadilan-pengadilan bawahan sebagai alasan pembenar, terutama dalam perkara-perkara korupsi. Dengan demikian, tindak pidana korupsi seringkali dinyatakan tidak terbukti, sehingga terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum.Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan keinginan pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi secara lebih efektif, pada tahun 1980-an Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 15 Desember 1982 No. 275K/Pid/1982, menegaskan arti sifat melawan-hukum materiel, setidak-tidaknya dalam tindak pidana korupsi, yaitu sebagai perbuatan yang: “karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak”. Putusan ini juga merinci unsur tindak pidana korupsi, yaitu: “negara dirugikan, kepentingan umum tidak dilayani dan terdakwa mendapat untung”. Kaidah ini pun telah diikuti oleh beberapa putusan Mahkamah Agung berikutnya untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi. Penafsiran yudisial ini mengakibatkan semakin luasnya unsur tindak pidana korupsi daripada sekadar kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang ‘pada waktu Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut ditetapkan.Hal ini membahayakan keajekan asas legalitas, yang sangat fundamental sifatnya bagi hukum pidana. Walaupun dalam penerapannya diharapkan akan momberikan keadilan, tetapi tetap saja akan menumbuhkan pertentangan tajam antara kepastian hukum, di satu pihak, dan keadilan, di pihak lain.Untuk mendekatkan kepastian hukum dan keadilan ini, kepastian hukum dapat dipertajam dengan menggunakan “teori schutznorm”, sedangkan penafsiran yang luas tadi harus dibatasi, dengan melihat manfaat bagi kepentingan masyarakat.