6 PRINSIP MENJALANKAN PROFESI ADVOKAT
Advokat bisa ditahan dengan alasan melakukan pelanggaran/kesalahan apa saja?
Apabila advokat sempat ditahan maka baik secara pribadi maupun sebagai pelaku profesi, orang itu sudah dalam posisi terjepit dalam menjalankan profesi Advokat. Walau demikian, bisa saja terjadi, advokat dalam melakukan fungsinya melakukan kesalahan [tindak-pidana], misalkan menghina, memukul, memaki, menonjok duluan, jadi si-advokat [apalagi yang dalam status magang] ini melakukan fungsi dan tugas advokat ++ dimana ++.nya ini berasa seperti pembela yang kebal-hukum, ngerasa semua yang dikerjain itu bener [padahal salah]. Kesalahan inilah [++] yang dihajar balik oleh polisi & langsung dilakukan penahanan atau ditangkap seketika.
Tak ubahnya seperti seorang dokter ketika melakukan pembedahan, tiba-tiba dia emosi karena kesalahan asistennya, dan langsung menganiaya si-asisten di ruang bedah memakai pisau bedah yang ada ditangannya [tetap salah toh]. Jadi dokter atau advokat harus dilihat dulu secara mendalam unsur kesalahan apa yang menyebabkan ia ditangkap atau ditahan. Terkadang saya sendiri suka menasehati advokat yang belum berlisensi agar berhati-hati ketika mendampingi klien di kepolisian, supaya tidak disalahkan karena si-asisten ini adalah advokat-palsu alias belum memiliki izin. Karena kalo si-polisi lagi be-te mendadak tu asisten ditangkep urusan bisa tambah runyam.
Seperti dalam suatu persidangan pidana, ketika kita melawan JPU atau melawan Pengacara Lawan [dalam persidangan-perdata], kita akan saling mencari titik-kesalahan terkecil dari pihak lawan, guna mematahkan kekuatan lawan dalam suatu perkara & menguatkan kedudukan kita agar dimenangkan. Tentu upaya ini harus berdasarkan fakta, dasar dan analisa yuridis hukum yang logis, bukan dengan cara nekat atau ujung-ujungnya cari bekingan [ini namanya pengecut, begitu kepojok, sambil nangis langsung nyari emak].
Demikian juga Polisi dan Jaksa-pun akan berperilaku demikian terhadap kita [advokat], ketika mereka akan "menghantam" dan mencari kelemahan klien [tersangka/terdakwa], dan tidak terbatas mereka-pun akan mencari kelemahan si-advokat selaku kuasa-hukum. Kesalahan atau kelemahan si-advokat inilah yang tidak di-ekspose. Namun polisi telah melihat bahwa tindakan advokat ini ada unsur-pidana, maka tanpa ba-bi-bu-be-bo langsung ditangkaplah si-advokat, tapi penangkapan biasanya bukan dalam kapasitas selaku advokat namun selaku pribadi.
Yang dimaksud im-munitas dalam UU Advokat, lebih gampang jika dikasih contoh sebagai berikut. Seorang advokat dalam melakukan pembelaan atau mendampingi klien tersangka tindak pidana teroris yang baru sukses meledakkan bom => advokat tidak boleh dilarang mendampingi klien demikian, atau tidak boleh disamakan dengan teroris. Advokat melakukan pendampingan klien tersangka pengedar Narkoba, seorang koruptor, seorang tersangka/terdakwa tindak pidana perdagangan orang => advokat tidak boleh [walau diduga sekalipun] bersalah dan mengetahui selak-beluk kejahatan kliennya.
Dulu jarang ada advokat berani melakukan pra-peradilan atau mengajukan SP-3, karena diangap melakukan PMH namun sekarang hal ini sudah menjadi hal biasa. Dulu ada anggapan bahwa seorang advokat menggugat salah-satu pihak, apalagi jika yang digugat adalah pejabat pemerintah atau konglomerat, maka kalo gugatannya kalah, maka dianggap advokat ini salah => sekarang sudah ga zaman mode kaya begini, mau putusan kalah mau menang itu urusan hakim, bukan kesalahan atau kepandaian advokat. Dan lain-lain contoh yang kalau diurai bisa kepajangan artikel ini :-)
Nah supaya tidak menjadi Advokat yang apes, pernah dan seringkali saya berpesan kepada teman2 mahasiswa hukum yang berminat ingin menjalankan profesi advokat harus selalu :
Ke-6 prinsip tadi sangat gampang ditulis, tapi sangat sulit dipraktekkan. Manfaat ke-6 cara tadi semata-mata menghindari agar kita pelaku profesi advokat tidak terpojok di masyarakat. Karena begitu kita [advokat] terpojok, maka masyarakat akan kembali semakin memojokkan anda dengan bertanya 'bagaimana anda membela klien, jika anda sendiri membuat kesalahan dan tidak mampu membela diri sendiri?
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari Advokat
Apabila advokat sempat ditahan maka baik secara pribadi maupun sebagai pelaku profesi, orang itu sudah dalam posisi terjepit dalam menjalankan profesi Advokat. Walau demikian, bisa saja terjadi, advokat dalam melakukan fungsinya melakukan kesalahan [tindak-pidana], misalkan menghina, memukul, memaki, menonjok duluan, jadi si-advokat [apalagi yang dalam status magang] ini melakukan fungsi dan tugas advokat ++ dimana ++.nya ini berasa seperti pembela yang kebal-hukum, ngerasa semua yang dikerjain itu bener [padahal salah]. Kesalahan inilah [++] yang dihajar balik oleh polisi & langsung dilakukan penahanan atau ditangkap seketika.
Tak ubahnya seperti seorang dokter ketika melakukan pembedahan, tiba-tiba dia emosi karena kesalahan asistennya, dan langsung menganiaya si-asisten di ruang bedah memakai pisau bedah yang ada ditangannya [tetap salah toh]. Jadi dokter atau advokat harus dilihat dulu secara mendalam unsur kesalahan apa yang menyebabkan ia ditangkap atau ditahan. Terkadang saya sendiri suka menasehati advokat yang belum berlisensi agar berhati-hati ketika mendampingi klien di kepolisian, supaya tidak disalahkan karena si-asisten ini adalah advokat-palsu alias belum memiliki izin. Karena kalo si-polisi lagi be-te mendadak tu asisten ditangkep urusan bisa tambah runyam.
Seperti dalam suatu persidangan pidana, ketika kita melawan JPU atau melawan Pengacara Lawan [dalam persidangan-perdata], kita akan saling mencari titik-kesalahan terkecil dari pihak lawan, guna mematahkan kekuatan lawan dalam suatu perkara & menguatkan kedudukan kita agar dimenangkan. Tentu upaya ini harus berdasarkan fakta, dasar dan analisa yuridis hukum yang logis, bukan dengan cara nekat atau ujung-ujungnya cari bekingan [ini namanya pengecut, begitu kepojok, sambil nangis langsung nyari emak].
Demikian juga Polisi dan Jaksa-pun akan berperilaku demikian terhadap kita [advokat], ketika mereka akan "menghantam" dan mencari kelemahan klien [tersangka/terdakwa], dan tidak terbatas mereka-pun akan mencari kelemahan si-advokat selaku kuasa-hukum. Kesalahan atau kelemahan si-advokat inilah yang tidak di-ekspose. Namun polisi telah melihat bahwa tindakan advokat ini ada unsur-pidana, maka tanpa ba-bi-bu-be-bo langsung ditangkaplah si-advokat, tapi penangkapan biasanya bukan dalam kapasitas selaku advokat namun selaku pribadi.
Yang dimaksud im-munitas dalam UU Advokat, lebih gampang jika dikasih contoh sebagai berikut. Seorang advokat dalam melakukan pembelaan atau mendampingi klien tersangka tindak pidana teroris yang baru sukses meledakkan bom => advokat tidak boleh dilarang mendampingi klien demikian, atau tidak boleh disamakan dengan teroris. Advokat melakukan pendampingan klien tersangka pengedar Narkoba, seorang koruptor, seorang tersangka/terdakwa tindak pidana perdagangan orang => advokat tidak boleh [walau diduga sekalipun] bersalah dan mengetahui selak-beluk kejahatan kliennya.
Dulu jarang ada advokat berani melakukan pra-peradilan atau mengajukan SP-3, karena diangap melakukan PMH namun sekarang hal ini sudah menjadi hal biasa. Dulu ada anggapan bahwa seorang advokat menggugat salah-satu pihak, apalagi jika yang digugat adalah pejabat pemerintah atau konglomerat, maka kalo gugatannya kalah, maka dianggap advokat ini salah => sekarang sudah ga zaman mode kaya begini, mau putusan kalah mau menang itu urusan hakim, bukan kesalahan atau kepandaian advokat. Dan lain-lain contoh yang kalau diurai bisa kepajangan artikel ini :-)
Nah supaya tidak menjadi Advokat yang apes, pernah dan seringkali saya berpesan kepada teman2 mahasiswa hukum yang berminat ingin menjalankan profesi advokat harus selalu :
- teliti dalam merespon suatu perkara
- berhati-hati dalam penanganan
- mencermati setiap inchi tulisan yg tertulis pada dokumen
- ikuti perkembangan dan dinamika hukum
- hindari kesalahan yang gampang dibuktikan
- gunakan insting [kepekaan] dalam penanganan perkara
Ke-6 prinsip tadi sangat gampang ditulis, tapi sangat sulit dipraktekkan. Manfaat ke-6 cara tadi semata-mata menghindari agar kita pelaku profesi advokat tidak terpojok di masyarakat. Karena begitu kita [advokat] terpojok, maka masyarakat akan kembali semakin memojokkan anda dengan bertanya 'bagaimana anda membela klien, jika anda sendiri membuat kesalahan dan tidak mampu membela diri sendiri?
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari Advokat
Advokat Pertama Di Indonesia
Besar Mertokusumo
Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah. Banyak membela rakyat miskin. Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Suardi Tasrif yang terbersit di benak Anda. Bisa jadi jawaban anda keliru. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia dalam proses hukum. Todung Mulya Lubis, dalam tulisan yang dikutip dari Koran Tempo, menyebut mereka sebagai advokat yang berhasil menjalankan keadilan selaku officer of the court.
Namun, tahukah Anda, bahwa sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama. Hanya sebatas itu.
Beruntunglah kita memiliki Daniel S. Lev yang banyak menyinggung kiprah Besar dalam dunia advokat. Banyak buku sejarah advokat yang lahir belakangan bersumber dari buku Daniel yang bertajuk Hukum dan Politik di Indonesia. Dalam buku itulah, Daniel memperkenalkan sosok Besar Mertokusumo sebagai advokat pertama di Indonesia.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktek advokat, kata Buyung saat dihubungi melalui telepon. Buyung mengenal sosok Besar sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Dalam buku Daniel S. lev, sosok Besar digambarkan sebagai advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-teman Besar berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal.
Riwayat Hidup Besar MertokusumoBesar Mertokusumo lahir di Brebes, 8 Juli 1894. Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai ampat orang anak. Yakni, Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro.Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (E.L.S) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, Besar lulus dari Rechtschool di Jakarta. Besar kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922.Sumber : Arsip Nasional RI
Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.
Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika jaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah Besar lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, Besar hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Bersama dengan sebelas pelajar lainnya Besar kuliah di Universitas Leiden.
Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdasa dapat meraih enuh gelar sarjana hukumnya di neger Belanda, sama statusnya dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.
Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.
Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu. Kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene 'dekat' dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang 'mentereng' layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar. Awalnya, keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut. Ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya sebagai advokat pada 1942.
Melihat kiprahnya di dunia hukum, menurut Anda, layakkah nama Besar Mertokusumo diabadikan sebagai nama jalan? Sesuai dengan aturan, yang paling layak mengusulkan itu tentu saja organisasi advokat.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah. Banyak membela rakyat miskin. Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Suardi Tasrif yang terbersit di benak Anda. Bisa jadi jawaban anda keliru. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia dalam proses hukum. Todung Mulya Lubis, dalam tulisan yang dikutip dari Koran Tempo, menyebut mereka sebagai advokat yang berhasil menjalankan keadilan selaku officer of the court.
Namun, tahukah Anda, bahwa sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama. Hanya sebatas itu.
Beruntunglah kita memiliki Daniel S. Lev yang banyak menyinggung kiprah Besar dalam dunia advokat. Banyak buku sejarah advokat yang lahir belakangan bersumber dari buku Daniel yang bertajuk Hukum dan Politik di Indonesia. Dalam buku itulah, Daniel memperkenalkan sosok Besar Mertokusumo sebagai advokat pertama di Indonesia.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktek advokat, kata Buyung saat dihubungi melalui telepon. Buyung mengenal sosok Besar sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Dalam buku Daniel S. lev, sosok Besar digambarkan sebagai advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-teman Besar berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal.
Riwayat Hidup Besar MertokusumoBesar Mertokusumo lahir di Brebes, 8 Juli 1894. Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai ampat orang anak. Yakni, Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro.Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (E.L.S) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, Besar lulus dari Rechtschool di Jakarta. Besar kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922.Sumber : Arsip Nasional RI
Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.
Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika jaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah Besar lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, Besar hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum. Bersama dengan sebelas pelajar lainnya Besar kuliah di Universitas Leiden.
Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdasa dapat meraih enuh gelar sarjana hukumnya di neger Belanda, sama statusnya dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.
Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.
Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu. Kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene 'dekat' dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang 'mentereng' layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar. Awalnya, keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut. Ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya sebagai advokat pada 1942.
Melihat kiprahnya di dunia hukum, menurut Anda, layakkah nama Besar Mertokusumo diabadikan sebagai nama jalan? Sesuai dengan aturan, yang paling layak mengusulkan itu tentu saja organisasi advokat.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Memilih Advokat
Ketika anda akan memilih dan menggunakan jasa Advokat, pilihan agar selalu dipertimbangkan dan dengan berpedoman kepada Pengalaman si Advokat, Biaya yang meliputi Honorarium Advokat serta biaya-biaya operasional yang wajib dikeluarkan dan dimungkinkan terjadi penambahan. Kenyamanan ketika anda berbicara & berkonsultasi dengan Advokat, Kemampuan [keahlian] khusus dari Advokat untuk bekerja secara efektif dan menyenangkan pada saat berkonsultasi [dan berinteraksi] dengan Advokat. Advokat yang memberi opini namun semakin menakutkan dan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi diri Anda, sebaiknya anda waspadai, sebab ada kemungkinan Advokat ini tidak menguasai permasalahan anda sehinga upaya penyelesaian semakin berlarut-larut dan tidak efektf dalam menyelesaikan sengketa.
Honor Advokat
Sangat penting bagi anda untuk mengetahui menyetujui sejak awal ketika seorang Advokat akan menentukan Honor yang akan dibebankan kepada Anda. Dalam kondisi ini ada kemungkinan akan ditentukan secara pasti jumlah Honor Advokat & biaya-biaya operasional yang diperkirakan.
Pemberian Jasa Dengan Honor Yang Murah
Banyak negara yang memiliki Advokat-Publik untuk kasus-kasus Kriminal. Para pemberi Bantuan Hukum-pun juga bersedia menangani Kasus Perdata [sipil]. Apakah Advokat Swasta juga akan bekerja secara Pro-Bono? Ada kemungkinan Advokat swasta ini juga akan memberikan tawaran dengan menurunkan rate Honorariumnya secara khusus dan terutama bagi klien fakir-miskin. Alternatif lain, ketika seorang Advokat menolak atau tidak bisa menolong anda, maka pertolongan lain bisa anda minta dari Perusahaan yang memiliki reputasi bisnis yang baik untuk membantu membiayai permasalahan anda, atau, anda bisa menyelesaikannya di luar Pengadilan dengan cara Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Pertanyaan Umum Kepada Advokat Yang Anda Akan Pilih
1. Apakah Advokat tersebut mengerti ruang lingkup permasalahan hukum yang anda ajukan?
2. Apakah Advokat itu pernah menangani kasus yang anda hadapi?
3. Apakah prediksi akibat hukum yang mungkin timbul dari kasus yang anda hadapi?
4. Apakah ada alternatif penyelesaian dari kasus yang anda hadapi?
5. Kira-kira berapa lama kasus ini akan terselesaikan?
6. Apakah Advokat itu merekomendasikan penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi atau Arbitrase?
7. Berapa besar honor Advokat yang akan dibebankan kepada Anda?
8. Berapa besar jumlah keseluruhan uang yang harus dikeluarkan yang meliputi honor advokat & biaya-biaya operasional yang sekiranya akan bertambah?
9. Bagaimana Advokat itu akan memberikan laporan penanganan perkembangan perkara kepada anda?
10. Dengan cara apa atau pendekatan apa yang akan Advokat itu gunakan [pakai] dalam menyelesaikan sengketa, apakah dengan cara agresif dan tidak mau mengalah, ataukah cenderung dengan menggunakan cara-cara penyelesaian yang masuk akal?
11. Siapa personil lain dari Kantor Advokat itu yang juga akan berperan dalam kasus anda?
12. Dapatkan Advokat Junior & staff hukum pada kantor Advokat itu menangani pekerjaan administratif, dengan jumlah honor yang ringan?
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Ketika anda akan memilih dan menggunakan jasa Advokat, pilihan agar selalu dipertimbangkan dan dengan berpedoman kepada Pengalaman si Advokat, Biaya yang meliputi Honorarium Advokat serta biaya-biaya operasional yang wajib dikeluarkan dan dimungkinkan terjadi penambahan. Kenyamanan ketika anda berbicara & berkonsultasi dengan Advokat, Kemampuan [keahlian] khusus dari Advokat untuk bekerja secara efektif dan menyenangkan pada saat berkonsultasi [dan berinteraksi] dengan Advokat. Advokat yang memberi opini namun semakin menakutkan dan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi diri Anda, sebaiknya anda waspadai, sebab ada kemungkinan Advokat ini tidak menguasai permasalahan anda sehinga upaya penyelesaian semakin berlarut-larut dan tidak efektf dalam menyelesaikan sengketa.
Honor Advokat
Sangat penting bagi anda untuk mengetahui menyetujui sejak awal ketika seorang Advokat akan menentukan Honor yang akan dibebankan kepada Anda. Dalam kondisi ini ada kemungkinan akan ditentukan secara pasti jumlah Honor Advokat & biaya-biaya operasional yang diperkirakan.
Pemberian Jasa Dengan Honor Yang Murah
Banyak negara yang memiliki Advokat-Publik untuk kasus-kasus Kriminal. Para pemberi Bantuan Hukum-pun juga bersedia menangani Kasus Perdata [sipil]. Apakah Advokat Swasta juga akan bekerja secara Pro-Bono? Ada kemungkinan Advokat swasta ini juga akan memberikan tawaran dengan menurunkan rate Honorariumnya secara khusus dan terutama bagi klien fakir-miskin. Alternatif lain, ketika seorang Advokat menolak atau tidak bisa menolong anda, maka pertolongan lain bisa anda minta dari Perusahaan yang memiliki reputasi bisnis yang baik untuk membantu membiayai permasalahan anda, atau, anda bisa menyelesaikannya di luar Pengadilan dengan cara Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Pertanyaan Umum Kepada Advokat Yang Anda Akan Pilih
1. Apakah Advokat tersebut mengerti ruang lingkup permasalahan hukum yang anda ajukan?
2. Apakah Advokat itu pernah menangani kasus yang anda hadapi?
3. Apakah prediksi akibat hukum yang mungkin timbul dari kasus yang anda hadapi?
4. Apakah ada alternatif penyelesaian dari kasus yang anda hadapi?
5. Kira-kira berapa lama kasus ini akan terselesaikan?
6. Apakah Advokat itu merekomendasikan penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi atau Arbitrase?
7. Berapa besar honor Advokat yang akan dibebankan kepada Anda?
8. Berapa besar jumlah keseluruhan uang yang harus dikeluarkan yang meliputi honor advokat & biaya-biaya operasional yang sekiranya akan bertambah?
9. Bagaimana Advokat itu akan memberikan laporan penanganan perkembangan perkara kepada anda?
10. Dengan cara apa atau pendekatan apa yang akan Advokat itu gunakan [pakai] dalam menyelesaikan sengketa, apakah dengan cara agresif dan tidak mau mengalah, ataukah cenderung dengan menggunakan cara-cara penyelesaian yang masuk akal?
11. Siapa personil lain dari Kantor Advokat itu yang juga akan berperan dalam kasus anda?
12. Dapatkan Advokat Junior & staff hukum pada kantor Advokat itu menangani pekerjaan administratif, dengan jumlah honor yang ringan?
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
SUMPAH ADVOKAT
Sumpah atau janji Advokat :
"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikanbarang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akanbertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan ataupejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban sayasesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasahukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
"...ingatlah sumpah ini ketika menjalankan profesi.."
salam advokat muda Indonesia..
Wulan sari..
"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikanbarang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akanbertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan ataupejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban sayasesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasahukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
"...ingatlah sumpah ini ketika menjalankan profesi.."
salam advokat muda Indonesia..
Wulan sari..
ETIKA PROFESI ADVOKAT
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata “nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, termasuk dalam asas mengenai “Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the honor of the profession), dimana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat “tidak dapat menolak dengan alasan ... kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut, dan juga di Pasal 4 kalimat: “mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: “... kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai “Kewajiban Mewakili Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara “cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di Indonesia lingkungan peradilan tatausaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara-perkara dalam bidang peradilan tersebut. Problematik yang mungkin akan ditemukan dalam menegakkan asas etika ini adalam pengertian “miskin”. Sebagai saran ingin diajukan di sini agar dalam organisasi profesi advokat juga terdapat bagian yang mengatur tentang bantuan hukum yang bersifat Pro Bono dan Public Interest.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ ... harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun ...?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
“Contempt of court” di negara-negara Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang mempergunakan media cetak atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya, sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere with a fair trial and prejudice the due administration of justice). Dalam Pasal 8 KEAI alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak membenarkan advokat mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulan saya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Iini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal 3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “ ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.
''...the lawyer owes entire devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he must obey his own conscience and not that of his client”.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata “nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty).
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, termasuk dalam asas mengenai “Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the honor of the profession), dimana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat “tidak dapat menolak dengan alasan ... kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut, dan juga di Pasal 4 kalimat: “mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: “... kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai “Kewajiban Mewakili Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara “cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di Indonesia lingkungan peradilan tatausaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara-perkara dalam bidang peradilan tersebut. Problematik yang mungkin akan ditemukan dalam menegakkan asas etika ini adalam pengertian “miskin”. Sebagai saran ingin diajukan di sini agar dalam organisasi profesi advokat juga terdapat bagian yang mengatur tentang bantuan hukum yang bersifat Pro Bono dan Public Interest.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ ... harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namun ...?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
“Contempt of court” di negara-negara Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang mempergunakan media cetak atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya, sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere with a fair trial and prejudice the due administration of justice). Dalam Pasal 8 KEAI alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak membenarkan advokat mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulan saya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Iini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
Tentang Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal 3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “ ... tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauhmana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.
''...the lawyer owes entire devotion to the interest of the client ... and the exertion of his utmost learning and ability. But it is ... to be borne in mind that the great trust o fthe lawyer is to be performed within and not without the bounds of law. The office of the attorney does not permit ... for any client, violation of law or any manner of fraud ... he must obey his own conscience and not that of his client”.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Tips Memilih (Advokat/Pengacara) Yang Profesional
Proses memilih Advokat/Pengacara sesuai dengan kebutuhan hukumnya adalah hampir sama dengan proses memilih Dokter, Akuntan, Notaris, Arsitek dan pekerja profesional lainnya. Tentu dengan menjamin profesionalisme dalam pekerjaannya, seorang Advokat/Pengacara harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien, sehingga klien dapat menilai dan percaya akan kwalitas kerja si Advokat/Pengacara. Perlu kehati-hatian dan ketelitian klien dalam memilih dan menentukan Advokat/Pengacara untuk menangani urusan hukumnya. Agar tidak keliru dalam memilih Advokat/Pengacara yang dibutuhkan, perlu ditempuh beberapa tips di bawah ini :
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut benar-benar nerupakan Advokat/Pengacara resmi yang memiliki izin praktek yang masih berlaku, bukan pengcara “gadungan” atau ”Pokrol”.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara memiliki kwalifikasi yang baik dalam bidang hukum tersebut.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak memiliki konplik kepentingan (conflict interest) dalam kasus yang ditangani.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tidak akan melakukan kongkalikong dengan pihak lawan atau Advokat/Pengacara pihak lawan.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut memiliki track record yang baik dalam keAdvokat/Pengacaraan, termasuk menyangkut etika, moral dan kejujurnnya.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara tersebut tidak pernah terlibat dalam malpraktek hukum.
- Pastikan bahwa si Advokat/Pengacara adalah type pekerja keras dan berdedikasi tinggi akan profesinya serta benar berkerja demi kepentingan kliennya, bukan Advokat/Pengacara yang hanya pintar bicara lalu minta bayaran tetapi tidak becus membela kepentingan kliennya.
- Jika anda ragu akan kredibiltas seorang Advokat/Pengacara, mintakanlah foto copy Izin Praktek Advokat yang bersangkutan (berwarna merah) yang diterbitkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia
- Bahwa, jika anda diperlakukan tidak sepatutnya oleh oknum Advokat/Pengacaraa, maka anda dapat melaporkan yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Profesi Advokat.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Tips Menghindari Konflik Antara Klien Dengan Advokat/Pengacara
Belakangan ini sering kita mendengar atau membaca di berbagai mas media perselisihan antara di klien dengan si Advokat/Pengacara, baik menyangkut proses penanganan kasus maupun menyangkut soal pembayaran fee atau success fee si Advokat/Pengacara. Bahkan ada klien yang melaporkan si Advokat/Pengacara ke Kepolisian dengan tuduhan menggelapkan uang si klien atau meminta uang dari klien untuk upaya memenangkan perkara namun tidak berhasil atau tidak dilakukan sama sekali oleh si Advokat/Pengacara, yang berakibat si Advokat/Pengacara ditahan. Untuk menghindari hal yang demikian ini perlu diantisipasi di awal kesepakan sebelum menandatangani Surat Kuasa bagi si Advokat/Pengacara, dengan melakukan berberapa hal, diantaranya :
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
- Membicarakan secara detail dan tuntas mengenai besarnya Lawyer Fee maupun Success Fee-nya jika berhasil memenangkan perkara yang ditangani.
- Kesepakatan tersebut di atas (point a) ini sebaiknya dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri tentang “honorariun” yang menyangkut besarnya operasional cost maupun success fee yang harus diberikan oleh klien bagi si Advokat/Pengacara maupun tatacara pembayarannya.
- Perlu diatur secara jelas dan tegas tentang ada atau tidaknya “hak substitusi” bagi Advokat/Pengacara tersebut, yaitu hak untuk menguasakan kembali baik sebagian maupun seluruhnya dari yang dikuasakan Klien kepadanya tersebut kepada orang lain lagi.
- Perlu diatur secara jelas dan tegas tentang ada atau tidaknya “hak retensi” bagi Advokat/Pengacara tersebut, yaitu hak untuk menahan surat-surat atau barang-barang milik Klien yang berada dalam pengusaan Advokat/Pengacara selama hak-haknya sesuai dengan yang telah diperjanjikan belum atau tidak dipenuhi oleh Klien, untuk menghindari tuntutan hukum kepada Advokat/Pengacara dari Klien dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana penggelapan harta milik/barang milik si Klien.
- Klien tidak boleh terlalu mencampuri masalah teknik dan taktik berperkara baik di dalam maupun di luar pengadilan.
- Klien tidak boleh melakukan deal-deal termasuk perdamaian dengan pihak lawan tanpa memberitahukannya terlebih dahulu kepada si Advokat/ Pengacara.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
HAK IMUNITAS ADVOKAT
Aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana saat menjalankan pekerjaan dewasa ini semakin bertambah. Mereka yang jadi pesakitan bukan hanya hakim, tetapi juga panitera pengganti, wakil kepala panitera, jaksa penuntut umum, dan advokat.
Advokat tidak dapat disamakan dengan kasus yang ditanganinya. Antara kasus yang ditangani dengan pribadi advokat adalah dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dengan kata lain advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 16 Undang-Undang No 18 tahun 2003 menentukan bahwa advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaaan klien dalam sidang pengadilan.
Kekebalan advokat terhadap proses hukum dalam mendampingi dan/atau mewakili klien tidaklah bersifat absolut. Kekebalan advokat adalah bersifat relatif. Hak imunitas advokat adalah terbatas.
Pada saat (seorang) advokat membela klien diduga ada melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang (hukum pidana misalnya), hal itu tidak berarti advokat bebas dari tuntutan pertanggungjawaban. Tindakan advokat yang bertentangan hukum harus pula diproses secara hukum.
Tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa apa pun yang dilakukan oleh advokat adalah bebas dari tuntutan hukum. Sesuai dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law), siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana, tidak ada yang bebas dari pertanggungjawaban hukum.
Kalau kita telusuri ke belakang, sebetulnya dari media massa dapat kita baca bahwa soal advokat diajukan ke meja hijau bukan perkara baru. Penegak hukum yang berstatus "partikelir" ini sudah banyak yang diproses di depan persidangan. Advokat diadukan oleh kliennya sendiri, pihak lawan atau oleh advokat sendiri sudah sering terjadi.
Terlepas dari ada-tidaknya UU tentang Advokat, yang jelas adalah, konstitusi kita, UUD 1945 pada Pasal 28 D jelas menyebutkan soal persamaan hak dan kewajiban dari setiap orang di depan hukum. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. UUD tidak menoleransi diskriminasi perlakuan hukum atas nama golongan, kelompok atau profesi.
Bahwa hak imunitas advokat bersifat terbatas, hal tersebut sebetulnya dengan jelas sudah diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1). UU itu menyatakan bahwa advokat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap, karena alasan dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih.
Keputusan dari Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sendiri pun tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana. Dalam Pasal 7 huruf (g) Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan bahwa advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan klien, dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup.
Semangat solidaritas tidak merupakan alasan untuk menjadikan (para) advokat -yang menurut kaca mata penyidik diduga melakukan tindak pidana- tidak dapat diproses secara hukum. Dalihnya, semua yang dilakukan oleh advokat semata-mata berdasarkan surat kuasa, bukan merupakan kata penentu terhadap proses hukum.
Kalau demikian sikap dari advokat, hal tersebut pada ujungnya akan menjadikan advokat sebagai warga negara kelas satu yang tidak tersentuh dan tidak terjangkau oleh hukum (untoucable and unreachable).
Dengan bahasa yang sarkastis Bernard Shaw, sang filosof dari Inggris, mengatakan bahwa sikap tindak yang sedemikian rupa jelas merupakan persekongkolan advokat melawan kaum awam. Suatu sikap dan pendirian yang tidak bisa ditoleransi dan tidak dibenarkan oleh konstitusi RI, UUD 1945.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
Advokat tidak dapat disamakan dengan kasus yang ditanganinya. Antara kasus yang ditangani dengan pribadi advokat adalah dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dengan kata lain advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 16 Undang-Undang No 18 tahun 2003 menentukan bahwa advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaaan klien dalam sidang pengadilan.
Kekebalan advokat terhadap proses hukum dalam mendampingi dan/atau mewakili klien tidaklah bersifat absolut. Kekebalan advokat adalah bersifat relatif. Hak imunitas advokat adalah terbatas.
Pada saat (seorang) advokat membela klien diduga ada melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang (hukum pidana misalnya), hal itu tidak berarti advokat bebas dari tuntutan pertanggungjawaban. Tindakan advokat yang bertentangan hukum harus pula diproses secara hukum.
Tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa apa pun yang dilakukan oleh advokat adalah bebas dari tuntutan hukum. Sesuai dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law), siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana, tidak ada yang bebas dari pertanggungjawaban hukum.
Kalau kita telusuri ke belakang, sebetulnya dari media massa dapat kita baca bahwa soal advokat diajukan ke meja hijau bukan perkara baru. Penegak hukum yang berstatus "partikelir" ini sudah banyak yang diproses di depan persidangan. Advokat diadukan oleh kliennya sendiri, pihak lawan atau oleh advokat sendiri sudah sering terjadi.
Terlepas dari ada-tidaknya UU tentang Advokat, yang jelas adalah, konstitusi kita, UUD 1945 pada Pasal 28 D jelas menyebutkan soal persamaan hak dan kewajiban dari setiap orang di depan hukum. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. UUD tidak menoleransi diskriminasi perlakuan hukum atas nama golongan, kelompok atau profesi.
Bahwa hak imunitas advokat bersifat terbatas, hal tersebut sebetulnya dengan jelas sudah diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003, Pasal 10 ayat (1). UU itu menyatakan bahwa advokat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap, karena alasan dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih.
Keputusan dari Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sendiri pun tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana. Dalam Pasal 7 huruf (g) Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan bahwa advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan klien, dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup.
Semangat solidaritas tidak merupakan alasan untuk menjadikan (para) advokat -yang menurut kaca mata penyidik diduga melakukan tindak pidana- tidak dapat diproses secara hukum. Dalihnya, semua yang dilakukan oleh advokat semata-mata berdasarkan surat kuasa, bukan merupakan kata penentu terhadap proses hukum.
Kalau demikian sikap dari advokat, hal tersebut pada ujungnya akan menjadikan advokat sebagai warga negara kelas satu yang tidak tersentuh dan tidak terjangkau oleh hukum (untoucable and unreachable).
Dengan bahasa yang sarkastis Bernard Shaw, sang filosof dari Inggris, mengatakan bahwa sikap tindak yang sedemikian rupa jelas merupakan persekongkolan advokat melawan kaum awam. Suatu sikap dan pendirian yang tidak bisa ditoleransi dan tidak dibenarkan oleh konstitusi RI, UUD 1945.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan Yudhasari..
HAK ATAS BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT
Salah satu prinsip HAM adalah persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law), akan tetapi pada kenyataannya prinsip ini kerap dilanggar karena alasan status sosial dan status ekonomi seseorang. Bagaimana sebenarnya ketentuan yang ada mengatur tentang bantuan hukum kepada setiap warga negara?
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa negara menjamin hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang yang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Salah satu prinsip HAM adalah persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law), akan tetapi pada kenyataannya prinsip ini kerap dilanggar karena alasan status sosial dan status ekonomi seseorang. Padahal secara jelas disebutkan bahwa orang yang tidak mampu memiliki hak atas bantuan hukum agar dia memperoleh keadilan, dan dalam UU No. 39 Tahun 1999 secara khusus disebutkan terkait hak atas bantuan hukum setiap individu tersebut, antara lain: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. (Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999); Pasal 18 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
salam advokat muda Indonesia..
Wulan sari..
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa negara menjamin hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang yang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Salah satu prinsip HAM adalah persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law), akan tetapi pada kenyataannya prinsip ini kerap dilanggar karena alasan status sosial dan status ekonomi seseorang. Padahal secara jelas disebutkan bahwa orang yang tidak mampu memiliki hak atas bantuan hukum agar dia memperoleh keadilan, dan dalam UU No. 39 Tahun 1999 secara khusus disebutkan terkait hak atas bantuan hukum setiap individu tersebut, antara lain: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. (Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999); Pasal 18 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
- Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
- Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
- Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
- Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
- Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
salam advokat muda Indonesia..
Wulan sari..